Metode Penelitian Kualitatif: AGENDA SETTING

08.58




Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.

            Dan Agenda Setting Theory adalah teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang agenda setting adalah:
(1) masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu;
(2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain;
Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep agenda setting adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal
Teori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about“. Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai mediator antara “the world outside and the pictures in our heads”. McCombs dan Shaw juga sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
Menurut McCombs dan Shaw, “we judge as important what the media judge as important.” Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat.
Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai “gatekeepers.” Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri.
Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai framing.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997).
Menurut teori agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk berubah sikap tetapi dengan fungsinya sebagai gate keeper (penjaga gawang atau penyaring) yang memilih suatu topik dan persoalan tertentu dan mengabaikan yang lain. Dengan menonjolkan suatu persoalan tertentu dan mengesampingkan yang lain, media membentuk citra atau gambaran dunia seperti yang disajikan dalam media massa. (Rakhmat, 1989:259-260), ini berarti media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang dan mempengaruhi persepsi khalayak tentang yang dianggap penting.
Bernard Coher, (1963) seorang ahli politik dengan singkat menyatakan asumsi dasarnya mengenai agenda setting, menurutnya :
“Media massa lebih sekedar memberi informasi atau opini media massa mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi media massa sangat berhasil mendorong khalayak untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”. (Rakhmat, 1989:227)
Hampir satu dasa warsa Mc Combs dan Shaw mengemukakan agenda setting khalayak terhadap persoalan tersebut, singkatnya apa yang dianggap penting media dianggap penting oleh masyarakat dan apa yang dilupakan oleh media massa juga akan luput dari perhatian masyarakat.
Penelitian empiris tentang teori agenda setting dilakukan oleh Mc. Combs dan Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden pada tahun 1972 mereka menulis antara lain : dampak media dalam kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif diantara  individu-individu telah dijuluki sebagai fugsi agenda setting dan komunikasi massa. Disinilah terletak efek komunikasi, yang terpenting kemampuan media untuk strukrurisasi dunia untuk kita.
Teori agenda setting dimulai dengan asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, tulisan yang akan disiarkan, setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar atau waktu televisi dan radio), dan cara penonjolan (ukuran judul pada surat kabar, frekuensi penyiaran pada televisi dan radio)
Contoh kasus Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550, Jumlah ini empat kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit Omni Internasional.
Framing yang dilakukan media membuat suatu berita terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Seperti yang dikatakan Robert N. Ertman, framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik utama yang diangkat oleh media sebagai bahan perbincangan sehari-hari. Pengaruh dari teori agenda setting terhadap masyarakat dan budaya sangat besar. Dunia fashion mengambil kesempatan ini untuk menarik style untuk kemudian menjadikannya trendsetter. Bahkan hingga menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Banyak dijual kaos bergambar wajah Manohara di pasaran. Popularitas Manohara di tanah air langsung melesat bak meteor. Begitu juga yang terjadi pada kasus Prita. Dampak dari media massa yang terus mem-blow up kasusnya terbentuklah opini publik yang cenderung untuk memberinya dukungan.
Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa persmungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik mengenai dua kasus di atas, pemerintah turun tangan dalam memberikan kebijakan terhadap kasus-kasus ini.

You Might Also Like

0 komentar